Pemilu sudah selesai, tetapi panasnya pemilu masih terasa hingga sekarang. Dulunya saya pernah berpikir, polarisasi yang ada di tengah masyarakat mungkin akan berakhir setelah pemilu selesai. Nyatanya tidak. Tetap ada polarisasi walau dengan tema yang berbeda. Bisa jadi setelah presiden baru dilantik, polarisasi terus tetap ada. Hoax bertebaran di mana-mana. Barisan sakit hati tetap mengeksiskan dirinya. Mungkin tetap sabar menanti pilpres berikutnya.
Belakangan ini saya melihat sosial media dipenuhi berita-berita tentang pilpres. Pilpres memang sudah selesai, tapi saya bukannya tenang, saya malah khawatir dengan berita-berita atau kabar yang bersliweran di sosial media. Terutama facebook. Tahukah kamu bahwa berita-berita terkait pilpres yang di share facebook itu didominasi hoax dan disinformasi? Saya prihatin dengan banyaknya berita yang dishare tanpa dianalisis terlebih dahulu. Malah ada juga yang mencuatkan kabar-kabar yang tidak benar. Ini justru sangat mengkhawatirkan kita semua.
Berita paling hot yaitu tentang “quick count”. Betapa riuhnya berita ini ketika quick count mulai di tampilkan pukul 15.00 WIB pada tanggal 17 April 2019. Sebenarnya beberapa hasilnya sudah terkumpul segera setelah penghitungan pada tingkat TPS selesai. Tetapi memang sudah ada kebijakan bahwa quick count baru boleh ditampilkan dua jam setelah pemungutan suara selesai.
Ada yang pro dan ada yang kontra dengan hasil quick count yang di TV. Tidak masalah. Ada juga hasil quick count yang berbeda. Berbeda yang saya maksud bukan perbedaan beberapa poin persen tetapi berbeda hasil kemenangan. Ada yang memenangkan paslon 01 dan ada yang memenangkan paslon 02. Ini sangat membingungkan.
Beberapa waktu kemudian, akhirnya KPU mulai menghitung “Real Count”. Bedanya pilpres kali ini, hasil real count dapat diakses melalui website resmi KPU. Sehingga kita tidak perlu menunggu hasil akhir pada tanggal 22 Mei 2019 nanti. Kalau dulu, kita terpaksa menunggu hingga kurang lebih sebulan sebelum KPU merilis hasil akhir pemilu. Alhasil, kita menjadi sangat bertanya-tanya, siapa sih yang menang? Kali ini kita bisa memantau langsung hasilnya. Menarik bukan? Malah kantor KPU Pusat juga terbuka bagi masyarakat kalau mau memantau langsung jalannya rekapitulasi hasil pemilu.
Menariknya, ternyata ada kekeliruan entry atau input data pada website KPU. Misalnya seperti gambar berikut ini.
Hal ini sebenarnya sangat berbahaya. Walaupun sebenarnya, inti dari kejadian ini adalah “kekeliruan input data”. Hanya sebatas itu, tapi opini akhirnya tergiring. Satu sisi, ini menjadi bahan bagi sebagian pendukung paslon 02 untuk meyakinkan diri mereka bahwa pihak paslon 01 melakukan kecurangan. Di sisi lain, para pendukung paslon 01 berupaya membela diri, mencari data-data pendukung dan melakukan counter attack. Berikutnya, situasi terus memanas.
Padahal sebenarnya tidak. Mengapa? Ini perlu saya jelaskan, agar para pendukung kedua paslon tidak lagi panas alias berdebat.
Pertama, kekeliruan ini tidak ada sangkut pautnya dengan paslon manapun. KPU bekerja independen. Jadi kekeliruan ini murni merupakan kekeliruan input data oleh KPU alias “human error”. KPU diawasi Bawaslu dan elemen-elemen lainnya. Masyarakat pun mengawal. KPU harus bebas dari tekanan-tekanan dan dari pengaruh-pengaruh faktor eksternal.
Sejauh ini, KPU sudah bekerja dengan baik dan sangat maksimal. Soal kalkulasi real count, mereka bekerja 24 jam. Data di website diperbaharui secara terus menerus setiap sekitar lima belas menit hingga setengah jam.
Kedua, kekeliruan ini sebenarnya tidak sepenuhnya merugikan pihak paslon 02, tetapi juga pihak paslon 01. Dan pendukung paslon 01 pun tidak harus berjuang membela diri. Karena sebenarnya dalam hal ini tidak ada dari kedua pihak yang curang. Perhatikan gambar berikut ini.
Bisa disimpulkan, bila ada kekeliruan seperti ini seharusnya cukup dilaporkan ke KPU saja. Tidak perlu tuduh-menuduh. Sikap saling menyalahkan hanya memicu provokasi nantinya.
Hasil yang kita lihat bersama di website resmi KPU hanyalah untuk ditampilkan saja. Data yang dirilis di website KPU bukan lah data mentah yang dimiliki KPU. Sekali lagi, itu hanya data untuk ditampilkan saja. Hanya publikasi saja. Sengaja diinput agar masyarakat dapat melihat. Sebatas itu. Ini sebenarnya membantu kita, supaya kita bisa menikmati hasil-hasil pemungutan suara. Juga kita bisa melihat hasil dari TPS-TPS lain.
Data asli hanya ada di atas kertas. Dan penghitungan manual juga dilakukan di atas kertas (juga pada software pengolah data). Pengerjaan penghitungan ini tentunya dikerjakan oleh ahlinya, mungkin menurut saya adalah ahli statistik atau matematika atau ahli-ahli lain yang sesuai dengan bidang ini. Hasil-hasil form C1 ini dikalkulasi yang hasilnya juga tertera di atas kertas (atau di software pengolah data).
Bagaimana bila ada kecurangan dengan mengubah data form C1 sebelum dikirim ke KPU pusat? KPU tidak senaif itu. Memang pengiriman dapat memakan waktu. Apalagi hasil TPS yang berada di daerah perifer. Tentu waktu pengirimannya cukup lama. Tetapi, hasil form C1 sudah harus discan atau paling tidak difoto terlebih dahulu sebelum data fisiknya dikirim. Ini untuk memperkecil kecurangan. Bagaimana kalau yang discan adalah form C1 yang dicurangi? Tenang, ada Bawaslu. Saksi-saksi dari kedua pihak paslon juga ada. Beberapa caleg juga menetapkan saksi mereka pada TPS-TPS.
Data-data ini nantinya akan dicocokkan. Kotak suara juga akan dibuka dan dihitung ulang. Ini yang disebut “Double Check”. Proses ini tidak dikerjakan oleh seorang diri didalam kamar ruang tertutup, justru dilakukan didepan banyak saksi supaya proses ini transparan.
Setelah dikalkulasi oleh ahlinya, hasil-hasil ini kemudian diinput ke website. Pengerjaan ini sudah pasti bukan dilakukan oleh ahli statistik atau ahli hitung yang tadi, tetapi bisa jadi ahli IT atau tenaga-tenaga lain. Jelas berbeda kan? Kita berbicara porsi pekerjaan. Sama halnya, di rumah sakit. Tidak mungkin dokter yang mengerjakan pendaftaran pasien lalu mengobatinya kemudian mengambil stok obat dari gudang farmasi. Demikian juga dengan pengerjaan penghitungan di KPU ini.
Berhubung penginputan data ini masih dikerjakan oleh SDM manusia, maka tidak mungkin hasilnya 100% luput dari kelalaian. Kelalaian dalam bekerja selalu ada. Dengan ketelitian, mungkin peluang kelalaian dapat diperkecil.
Total TPS kita sebanyak 800.000 lebih. Itu adalah angka yang besar, yang kemudian diklaim juga bahwa pemilu di Indonesia tergolong besar dan rumit.
Maka kita anggaplah kelalaian input data sekitar 1%. Ini sebenarnya adalah angka yang nyaris sempurna, karena kita sudah tegaskan 99% data yang lain sempurna. Beberapa penelitian malah menetapkan 5% sebagai angka kesalahan
Kalau kita ambil angka kekeliruan input data sebanyak 1% maka itu berarti ada sekitar 8000 TPS yang input datanya keliru. Wah, ini angka yang besar sekali. Tetapi saya yakin bahwa kesalahan entry data pada website KPU tidak mencapai 8000 TPS. Untuk membuktikan kesalahan 1000 TPS saja sebenarnya kita tidak mampu. Artinya kesalahan pengerjaan oleh tim KPU tidak sampai 1%.
Berikutnya KPU akhirnya memberikan solusi bahwa apabila dijumpai kekeliruan cukup dilaporkan saja. KPU sendiri mengakui ada kesalahan. Jadi saya rasa sudah tidak ada masalah lagi. Kita harus tetap kawal KPU. Kita harus monitor hasil-hasil suara di TPS. Itu lah gunanya website KPU. Bila dijumpai kekeliruan angka lagi, tingga report. Gitu aja kok repot!
#ayoberpikirkritis #ayoberpikirbebas